Photo by : Abdul Haris
Pagi itu begitu cerah, sinar
mentari seraya menyambut kedatangan kami yang terlelap dalam 2 jam penerbangan
menuju NTB. Bandara terasa begitu damai kala itu, senyum lebar menyeruak dari
para petugas bandara, ransel-ransel yang telah terisi penuh pun perlahan keluar
dari bagasi yang menandakan petualangan akan segera di mulai.
Syarif, salah satu teman baik
saya asal mataram menyambut kami pagi itu di bandara. hampir 3 bulan berlalu
sejak saya dan syarif mendaki gunung Gede bersama. Kala itu saya berjanji
padanya untuk mengunjunginya dan mendaki Rinjani bersama, Akhirnya janji saya
pun terealisasikan pada 15 Agustus 2015.
Mobil yang telah di sewa pun
sudah siap di area parkir, kami bergegas menuju kediaman syarif, kurang lebih 2
jam perjalanan yang kami tempuh dari BIL menuju kediamannya. Kami pun tiba
pukul 10 pagi, kami di sambut dengan sangat baik di sana, serta di suguhi makanan,
dan juga sharing dan packing logistik yang sudah di siapkan. Logistik yang terbilang
cukup banyak yang mayoritas terdiri buah-buahan, sayuran, bumbu dapur dan
sedikit makanan siap saji menjadi bekal kami untuk 5 hari kedepan di gunung
Rinjani.
Sekitar pukul 12 siang, dengan
mobil pick up kami melanjutkan perjalanan menuju pintu pendakian di desa
sembalun. Terik mentari membuat siang itu terasa sangat panas, 4 jam waktu yang
di butuhkan untuk tiba di desa sembalun dari mataram, cukup terbilang lama memang,
namun pemandangan desa sembalun yang indah serasa mengobati rasa lelah itu.
Jam menunjukan pukul 4 sore, kami
pun mengurus segala macam persyaratan dan perizinan untuk pendakian. Pada pukul
setengah 5 sore, hening dalam doa, kami bergegas memulai perjalanan. Pos 2 pun
menjadi target untuk kami bermalam, kurang lebih 2 jam waktu yang di butuhkan
untuk tiba di pos ini. Padang rumput sepanjang mata memandang dan jalur yang
landai membuat perjalanan begitu menyenangkan, sapi-sapi ternak pun menghiasi
perjalanan kami menuju Pos 2.
Pos 2
Malam pun tiba, cuaca sangat
cerah kala itu. Taburan bintang dan aliran bintang yang menyerupai sungai di
angkasa menemani malam kami. Di atas matras dalam posisi tertidur dan menghadap
ke angkasa saya begitu menikmati malam kala itu, belum pernah saya menemukan
bintang yang begitu indah yang dapat dinikmati dengan mata telanjang, rasa
syukur tak henti terucap dalam hati ini. Malam kian larut, dan saya memutuskan
untuk beristirahat untuk melanjutkan perjalanan ke esokan harinya.
Hangatnya sinar mentari pagi itu
membangunkan kami dari tidur, setelah memasak dan packing kami melanjutkan
perjalanan menuju plawangan sembalun untuk mendirikan tenda sebelum keesokan
harinya melakukan summit attack.
Pos 2, pagi hari. Photo by : Abdul Haris
Perjalanan dari pos 2 menuju pos
3 terbilang tak terlalu terjal, namun setelah pos 3 menuju plawangan ujian
fisik dan mental pun di mulai. Bukit yang begitu curam, jalanan yang berdebu,
serta teriknya mentari begitu menguras tenanga. 7 bukit yang harus kami lalui
untuk menggapai plawangan yang biasa di sebut 7 bukit penyiksaan/penyesalan.
Pukul 4 sore kami tiba di plawangan sembalu, total 7 jam waktu yang di butuhkan
dari pos 2 menuju plawangan. Rasa lelah pun seketika hilang setelah melihat
gumpalan awan dari camp area.
Plawangan Sembalun
Sore yang begitu cerah, awan yang
begitu menggumpal, serta pemandangan yang begitu indah membuat mulut ini tak
bisa berkata lagi.
Setelah menemukan lokasi yang
pas, kami pun mendirikan tenda. Hal terbaik dari plawangan sembalun, selain
pemandangan yang begitu indah, di sini juga terdapat persediaan air yang begitu
melimpah jika di bandingkan dengan pos 2.
Punggungan plawangan senaru terlihat dari kejauhan
Senja pun tiba, sinar mentari
yang perlahan tenggelam membuat pesona rinjani begitu memukau. Senja yang
begitu indah mengiringi berakhirnya hari ini.
mentari mulai tenggelam
Begitu tenang senja kala itu,
pamerannya berjejer rapi tanpa khawatir di ganti gelap. Mentari pun kian
tenggelam, sinarnya perlahan diganti dengan lukisan bintang dimalam hari.
Senja, Photo by : Abdul Haris
Malam pun tiba, begitu dingin
udara kala itu, kami bergegas memasak untuk mengisi perut yang sudah
keroncongan. Hidangan sederhana, telur dadar, mie rebus, serta bakwan goreng,
menjadi santapan yang begitu nikmat, di temani taburan bintang yang tertata
rapi di langit, dan awan yang menyelimuti danau segara anak dari atas.
Tepat pukul 9 malam, sleeping bag
pun di rentangkan, matras berjejer rapi sebagai alas, di dalam tenda yang cukup
dingin kami terlelap dalam tidur meski sesekali terbangun karena dinginnya
udara. Pukul 2 pagi pun tiba, syarif serta abenk membangunkan saya, jajat,
haris, toqe, bule, anggi, serta musaf yang tidur sangat lelap, mungkin efek 7
bukit penyiksaan yang begitu menguras tenaga.
Roti yang sudah dingin dengan
sedikit coklat dan mentega menjadi santapan sebelum melakukan summit attack, di
tengah udara yang begitu menusuk tulang, di lengkapi dengan tiga lapis kaos,
serta 1 jaket, saya siap melakukan summit attack. Pikir saya mungkin sekitar
3-4 jam untuk menggapai puncak rinjani, namun kenyataan berkata lain.
Rombongan kamipun bergegas,
menuruni lembah sedikit, sebelum jalan berubah menjadi menanjak, dan kian
menanjak. Musim kemarau kala itu membuat jalur begitu berdebu, membuat sesekali
dada terasa sesak dan batuk-batuk yang sesekali menghinggapi beberapa dari
kami.
Jalur Menuju Puncak
Jalan yang kian menanjak, di
temani bulan yang begitu terang pada subuh itu, kami terus berjalan. Udara yang
mulai tipis di ketinggian 3.200 m membuat dada kian sesak, di tambah jalur yang
berubah menjadi pasir, dan sedikit kerikil membuat langkah kian layu.
Terpaan angin yang begitu kencang
di tengah dinginnya subuh membuat jaket serta pakaian yang berlapis tak mampu
menahan hawa dingin yang begitu menusuk, di tambah sarung tangan saya yang
kurang mumpuni membuat tangan saya serasa mati rasa. Langkah kian berat, kaki
yang mulai sedikit tenggelam dalam jalur pasir yang berubah menjadi kerikil
membuat langkah kian layu, sesekali di balik batu besar saya merebahkan tubuh
yang kedinginan untuk berlindung dari terpaan angin yang tanpa ampun menerjang.
Air yang kian menipis, badan yang kian lemas, serta dada yang begitu sesak
membuat badan kian malas untuk bergerak, di ketinggian 3.400’an m.
Photo by : Abdul Haris
Sesekali terlintas penyesalan di
pikiran, dan saya berkata dalam hati “ kenapa gue di sini ya, padahal kalau di
rumah gue lagi enak tidur jam segini”, di tengah godaan untuk menyerah, pikiran
saya pun berkecamuk, mental mulai bermain, dan sekilas saya teringat kisah
petualangan alm. Norman Edwin, seorang yang begitu saya idolakan. Saya kembali
berdiri di tengah lelah yang mendera dan tubuh yang kian malas untuk bergerak,
entah di mana teman-teman saya, semua terpencar ketika jalur berubah menjadi
pasir di gelapnya subuh kala itu.
Saya tersadar hanya tekad,
motivasi, dan kepercayaan pada diri sendiri yang mampu memupuskan rasa lelah, demi
menggapai impian dan meraih sesuatu yang kita percayai bisa kita gapai. Kaki kembali
saya ayunkan perlahan, 5 langkah naik berarti 2 langkah turun, keluh berubah
menjadi tekad. Jalur yang menyerupai huruf E yang terkenal pun berda di hadapan
saya, curamnya pun saya hadapi perlahan meski dada kian sesak dan langkah kian
berat.
In frame, Syarif. jalur huruf E, ketika turun dari puncak.
Matahari pun terbit perlahan,
udara yang begitu dingin perlahan berubah menjadi sedikit hangat, meski
beberapa kali kembali saya duduk di balik batu, namun perlahan tapi pasti saya
kian bertekad menuju puncak gunung vulkanik tertinggi kedua di Indonesia.
Sekitar pukul 8 pagi, berjarak
100 meter dari puncak di ketinggian 3.600 m, jalur kian terjal dan seakan tanpa
ampun menyeret langkah kaki untuk kembali turun. Puncak sudah terlihat jelas di
depan mata, namun di butuhkan 1 jam untuk saya yang memiliki fisik yang tak
begitu bagus. Perlahan terlihat haris, anggi, dan bule dari kejauhan.
“yang laen mana?”, tanya saya
sambil berteriak dari kejauhan, “jajat, abenk, sama bang syarif udah sampe atas
kayanya, toqe sm musaf ga tau ada dimana”, haris menjawab. Saya, haris, dan
anggi kembali bersama untuk menuju puncak, bule memilih tak melanjutkan
perjalanan karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan.
In frame, Jajat.
Pukul 09.15 di pagi yang begitu
cerah, saya, haris, anggi tiba di puncak rinjani, toqe, musaf, abenk, syarif
dan jajat telah tiba terlebih dulu di puncak. Lelah yang terbayarkan melihat
udara yang menggumpal yang sedikit menyelimuti danau segara anak yang terlihat
kebiruan pagi itu. Senyum sumringah pun terpancar dari raut wajah saya, seakan
tak percaya bisa menggapai puncak rinjani di ketinggian 3.726 m.
Puncak Rinjani
Nestapa berbalut bahagia, itulah yang
saya rasakan pagi itu. Hati begitu puas melihat pemadangan yang di sajikan dari
dahi langit. Puncak gunung agung pun samar-samar terlihat dari kejauhan.
Sisi lain puncak Rinjani
Kurang lebih sejam berada di
puncak, sengatan matahari yang kian panas memaksa kami untuk segera turun meski baru pukul 10 pagi. Perjalanan
turun pun terbilang cukup melelahkan, udara subuh yang begitu dingin kini
berganti menjadi terik yang mengitu menyengat. Rasa haus tak terhindarkan,
persediaan air yang habis pun membuat perjalanan kian berat. Sesekali kerikil
yang cukup dalam membuat kaki terpeleset dan membuat beberapa dari kami jatuh
duduk, meski tak semelelahkan perjalanan naik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar