matahari terbit diantara pegunungan Halimun di Ciptagelar |
Teriakan pun terlontar dari mulut
saya, sesuatu seperti menarik daun telinga saya di siang yang cukup terik di
tengah belantara gunung Kendeng yang masih amat liar, daun telinga saya terasa
begitu perih, perlahan darah menetes di baju lapangan berwarna abu yang saya
gunakan. Bahu kiri saya tak luput dari tetesan darah cukup banyak. Seolah
kejadian begitu cepat, tak tahu apa yang menimpa daun telinga kiri saya,
sesuatu seperti tersangkut begitu kuat, perlahan saya mencoba melepaskan dan
menoleh ke arah kiri namun sesuatu yang menyangkut begitu kuat menusuk daun
telinga saya. Pohon rotan yang berseliweran di atas kepala kami yang begitu
banyak di Hutan Kendeng ternyata salah satunya mengenai telinga saya, duri
rotan memang terkenal sangat kuat dan sulit dilepaskan. Kang Epul segera
memotong dahan tersebut dan perlahan melepaskan duri yang telah basah oleh
darah, mas Adi dan Jilan segera sigap mengeluarkan handuk serta betadine untuk
menghentikan darah yang menetes.
Belantara Gunung Kendeng. foto oleh Jilan Credo |
“Baru satu jam jalan udah suram”,
gumam saya dalam hati sembari menahan nyeri di telinga di siang yang cukup
gelap di tengah hutan, tak lama berselang perjalanan kembali kami lanjutkan.
Gunung Kendeng memang tak sepopuler gunung kebanyakan di Jawa barat, gunung
yang bisa di bilang menyerupai “Bukit” ini memang tak memiliki ketinggian yang
tak seberapa, puncak tertingginya hanya 1600an meter, namun medan yang begitu
ekstrim menjadikan gunung ini kerap kali menjadi latihan anggota Brimob maupun
Kopassus. Meski masih satu wilayah dengan Gunung Salak dan Gunung Halimun, nama
Kendeng masih begitu asing di telinga kebanyakan orang.
Perlahan berjalan, memori saya
kembali muncul membuka cakrawala pengalaman indah setahun yang lalu, di bulan
yang sama, Mei 2016 dan di kawasan yang sama. Tak terasa waktu berjalan cukup
cepat, setahun yang lalu saya seorang diri melintasi Loop trail dan berkemah di Kaki Gunung Kendeng. Mendirikan tenda
dan berkemah di pinggir sungai, gemercik air begitu menenangkan pikiran saya, di
temani kunang-kunang yang berseliweran di seputaran tenda, sambil meghirup
nafas dalam-dalam di malam yang begitu cerah dan kepala mengadah ke langit saya
merasa begitu “Hidup” malam itu. Perlahan dari kejauhan 4 orang menghamipiri
saya dan menyapa kemudian mendirikan tenda juga di pinggiran sungai tersebut.
Ada 3 tenda malam itu di tanah yang tak begitu luas di pinggir sungai Gunung
Kendeng, 1 tenda saya, 1 tenda 4 orang, dan 1 tenda 2 orang pria paruh baya.
Perbincangan yang cukup akrab di antara kami meski baru pertama bertemu
terjalin cukup hangat, di temani kopi dan api unggun serta jutaan bintang di
angkasa membuat seolah pertemanan diantara kami terjalin sudah sangat lama.
Beralaskan matras dan beratapkan
jutaan bintang di langit, kami berbagi pengalaman hidup yang begitu seru. 2
orang paruh baya, Sepe dan Jack, membagi pengalamannya yang begitu seru kala di
tahun 1997 mereka bertualang di Gunung Leuser, di Aceh selama 1 bulan. 4 orang
lain bercerita banyak soal pengalaman mereka tatkala mengunjungi “Indonesia
yang sesungguhnya” di kasepuhan Ciptagelar. Saya merasa tertarik ketika pokok
bahasan tentang Ciptagelar mereka paparkan, cerita semakin seru tatkala mereka
bercerita menggunakan motor trail selama 2 hari melintasi Gunung Halimun, dari
desa Pamempeg untuk mencapai Kasepuhan Ciptagelar. Sambil mendengarkan cerita
yang kian seru, saya berkata dalam hati kelak saya juga akan pergi ke sana dan
mengenal bangsa tercinta ini lebih dekat.
***
Udara pagi menjelang siang yang
cukup panas menemani perjalan saya bersama 2 orang sahabat, Jilan dan Mas Adi,
melintasi leuliang dan desa Nanggung, tak terasa 3 jam kami mengendarai motor,
angin yang berhembus terasa begitu kering membuat tubuh terasa lebih panas dari
biasanya. Sejam berselang, tibalah kami di perkebunan teh Nirmala, hamparan
perkebunan teh yang begitu hijau nan memanjakan mata, udara siang yang panas
perlahan berubah menjadi sejuk meski terkadang angin kerap membawa udara kering
yang membuat wajah terasa sedikit panas. Sejenak kami beristirahat di area
perkebunan teh sekedar duduk dan menghirup udara yang amat menyegarkan
paru-paru. Jalan yang kami tempuh cukup rusak parah, bebatuan berseliweran di
sepanjang jalan ketika hendak memasuki area kebun teh, tangan cukup pegal di
buatnya.
Desa Citalahab |
6 jam total perjalanan yang kami
tempuh dari depok menuju Citalahab, desa yang begitu tenang berudara sejuk di
tengah pengunungan Halimun nan elok. Citalahab menjadi desa persinggahan kami untuk
bermalam, sebelum menjelajah Gunung Kendeng dan menuju Kasepuhan Ciptagelar.
Hari berganti begitu cepat,
setelah terlelap semalaman di dalam tenda yang kami dirikan di tepian sungai
yang begitu jernih. Tepat pukul 10 pagi, Saeful, biasa di sapa kang Epul, pria
berusia pertengahan 20 tahunan berperawakan kurus dan cukup kekar, bersedia
menjadi guide kami menuju Ciptagelar.
6 jam sudah kami melintasi gunung Kendeng, jalur yang begitu menyiksa dengan vegetasinya yang amat lebat membuat golok tramontina menjadi sahabat kami, punggungan demi punggungan bukit di lewati, lumpur, pepohonan tumbang, serta jejak dan kotoran hewan liar menemani perjalanan kami. tepat pukul 4 sore, terlihat dari kejauhan kuningnya area persawahan dari celah-celah pohon yang semakin sedikit. Namun masih ada 2 perkampungan lagi yang harus kami lintasi, rasa lelah terasa sedikit terobati melihat area persawahan yang begitu kuning nan luas sepanjang mata memandang meski cuaca cukup mendung.
desa Sirnagalih |
Hamparan sawah yang menguning menyambut kedatangan kami |
Lumbung Padi masyarakat Sirnagalih |
Setengah jam kami berjalan, tibalah
kami di desa Sirna Galih, kami pun di sambut oleh seorang kepala desa yang tak
sengaja bertemu kami di jalan. Di ajaknya kami ke rumah abah Nani, yang
kebetulan tetua desa itu yang masih kerabat abah Ugi di kasepuhan Ciptagelar. Kami
pun di sambut dengan suguhan makanan yang begitu banyak, “baik-baik banget ya
orang sini”, ujar saya pada mas Adi dan Jilan. Sambil menyantap makanan, sang
kepala desa menjelaskan jarak tempuh dari sirna Galih menuju Ciptagelar sekitar
18 Km, sontak kami berempat sedikit kaget, karena hari sudah beranjak malam. Akhirnya
beliau menyarankan kami untuk menaiki Ojek. Tanpa pikir panjang kami pun
mengiyakan saran tersebut.
Seolah tak kalah serunya
dibanding menyusuri belantara kendeng, Ojek-ojeknya bisa di bilang cukup
ekstrim, jalanan yang amat rusak, batu-batu kali yang di susun tak beraturan
menjadi jalur yang kami tempuh, tanjakan pun amat menyiksa kami karena membawa
ransel yang cukup besar. Malam kian larut, ojek terus memacu motornya menembus
udara yang amat dingin, Jedaaar, suara
hantaman mesin motor yang beradu dengan batu jalanan, “gapapa kang motornya?,
pelan-pelan aja ya yang penting sampe”, ujar saya, “iya a, saya agak pelanin
motornya”. Hampir sejam yang cukup menguras adrenalin di tengah malam yang amat
gelap tanpa penerangan jalan, di tambah jalur yang cukup ekstrim, akhirnya
tibalah kami di Ciptagelar.
Kami pun di sambut setibanya di
Ciptagelar oleh mang Odo dan Kang Sanga, beliau adalah orang yang bertugas
untuk menyambut tamu di Ciptagelar. Jam menunjukan jam 8 malam, suara jangkrik
dan kodok terdengar khas pedesaan pun begitu membuat hati tentram. Malam itu
kami beristirahat di imah gede atau
rumah untuk menjamu tamu, yang kebetulan di tinggali abah Ugi dan orang-orang
kasepuhan. Tanpa basa-basi kami di suruh untuk makan masakan yang mereka masak
di dapur yang hampir 24 jam terus beroperasi. Hanya ada kami tamu yang
beristirahat malam itu, malam kian larut, setelah mandi, kami pun ke meja makan
tampat prasmanan di sajikan, lauk cukup lengkap dari mulai ayam, ikan, serta
sayuran, namun yang begitu spesial yakni nasi nya, ya nasi di kasepuhan Ciptagelar
berasal dari ladang mereka sendiri yang di masukan ke lumbung dan di diamkan
selama beberapa tahun kemudian di tumbuk. “ini kayanya nasi paling enak yang
pernah gua makan”, ujar Jilan.
berlatih untuk upacara serah taun |
Suara gamelan dan alat musik
perlahan terdengar di depan pelataran imah
gede , ternyata beberapa ibu-ibu dan anak-anak remaja sedang berlatih
memainkan alat musik tradisional. Ciptagelar biasanya melakukan pesta panen
mereka dengan amat meriah, yang biasa di sebut acara serah taun, acara ini biasa di gelar 1 hingga 2 minggu setelah
iedul adha, biasanya ribuan wisatawan datang ke tempat ini dengan menggunakan
kendaraan 4 WD, di jamu dan di beri makanan tanpa di pungut biaya sepeserpun.
Malam terasa begitu cepat, malam
berganti menjadi subuh yang cukup menenangkan pikiran. Semalaman kami di
berikan kamar yang cukup bagus di imah
gede dengan selimut yang cukup tebal. Sungguh begitu baik jamuan mereka
kepada para tamu. Sekitar pukul 6 pagi, saya pun meminta izin pada kang Sanga
untuk mengambil foto di seputaran sawah, dan lumbung padi.
Berselimut kabut di Pegunungan Halimun |
menikmati sejuknya udara pagi di tengah persawahan |
lumbung padi |
Memanen sawah |
Sekadar bermain dalam area
persawahan sudah membuat hati ini amat bahagia, di tambah bisa mengenal bangsa
ini lebih dekat, saya tak bisa berkata-kata lagi, keramah tamahan mereka,
melihat bagaimana mereka menjaga lingkungan dan kerukunan sudah amat mewakili
ciri khas bangsa ini yang dewasa ini seakan perlahan pudar.
menikmati persawahan |
area persawahan seluas mata memandang |
Tak jauh dari imah gede terdapat perkampungan warga
yang mayoritasnya berprofesi sebagai petani. Salah satu hal yang membuat saya
terkagum yakni, masyarakat nya yang sudah mampu swasembada pangan sendiri,
selain itu tak satupun masyarakat sini yang menderita kelaparan atau masalah
lainnya.
pemukiman warga |
lumbung padi warga Ciptagelar |
leuwi Jimat, salah satu lumbung padi yang di keramatkan. dan hanya di isi pada saat upacara serah taun |
Jam menunjukan pukul 8 pagi, kami
kembali ke imah gede untuk packing,
mang Odo pun menemani saya yang hendak packing sambil mengobrol, tak lama
seorang nenek tua yang bertugas di dapur menyuruh kami untuk sarapan dulu
sebelum pulang, dan membungkuskan nasi kepada kami, sedikit kaget dan heran, karena
begitu baiknya mereka. Amat berat hati saya untuk meninggalkan desa ini, seakan
ingin lebih lama, namun rutinitas sudah menunggu kami di ibukota.
Padi yang di jemur setelah di panen. foto oleh Adi Suryadi |
Kang sanga menganjurkan kami melalui jalur Pamempeg, karena relatif lebih dekat, dan jalurnya sedikit lebih mudah. Jalur Pamempeg ini merupakan area pergunungan Halimun, yang terlihat jelas dari Ciptagelar. 6 jam waktu yang kami tempuh menembus pegunungan Halimun, kami pun tiba di desa pamempeg yang kembali di tandai dengan persawahan yang begitu luas. Sejenak kami menumpang di sebuah rumah kecil yang terdapat bale dari bambu, rumah tersebut di huni oleh sepasang suami istri yang sudah berusia lanjut. Sang kakek perlahan mengeluarkan pisang yang dihasilkan dari kebun sendiri, dan tak lama berselang belaupun memberi kami teko berisi air. Sesuatu yang amat jarang saya temui di ibu kota, begitu tulus mereka menjamu kami, bahkan tanpa kami meminta. Ceriminan bangsa ini begitu terpancar jelas dari desa Sirna Galih, Ciptagelar, dan Pamempeg. Mereka mungkin hidup dengan kesederhanaan, namun hal tersebut justru membuat hidup terasa amat sempurna. Perjalanan yang amat memberikan pelajaran penting bagi saya pribadi untuk terus menjelajah kehidupan yang tak bertepi ini.
“Patriotisme tidak mungkin tumbuh
dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu
secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik
yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” ― Soe Hok Gie
Itinerary
Menuju Ciptagelar bisa menempuh 2
cara :
Melalui Pelabuhan Ratu
- Bisa melalui kendaraan 4 WD melalui Citarik, kemudian ke arah pelabuhan Ratu, dan Pangguyagan, lalu ke Desa Ciptarasa, setelah Ciptarasa ikuti jalan terus hingga tiba di Kasepuhan Ciptagelar.
Melalui Desa Citalahab
- Perjalanan di mulai dari Pinggir kebun teh Nirmala, jalur ada di sebelah kanan atau sebelah hutan belantara, jalur masuk tak terlalu jelas terlihat.
- Menembus hutan belantara Gunung Kendeng hingga tiba di desa Sirna Galih memerlukan waktu tempuh sekitar 6 jam perjalanan, tergantung kondisi fisik dan alam saat itu.
- Desa Sirna Galih menuju Ciptagelar berjarak 18 km, bisa di tempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 jam, jika di tempuh dengan Ojek memakan waktu sekitar 45 menit dengan biaya Rp 75.000
- Ciptagelar menuju Pamempeg memakan waktu 6 jam perjalanan menempuh pegunungan Halimun.
- Desa Pamempeg menuju Citalahab dapat di tempuh sekitar 3 hingga 4 jam berjalan kaki, jika menggunakan mobil sewaan memakan waktu 1 jam 30 menit. Jalur cukup rusak dan di sarankan tidak bertemu malam hari, karena tidak ada penerangan lampu pada saat memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Informasi tambahan :
- Harap menggunakan Guide/Petugas TNGHS karena jalur hutan yang kurang terlihat jelas dan jarang dilalui manusia. tarif Guide perhari Rp 150.000
- Persiapan fisik dan peralatan secara matang adalah suatu keharusan
- Setibanya di setiap desa harap selalu menjaga kesopanan, karena masyarakat sekitar begitu menjunjung tinggi adat istiadat dan tata krama.
- Untuk mengambil foto maupun berjalan-jalan di seputaran Ciptagelar harap meminta izin terlebih dahulu.
Boleh minta kontak guide lokalnya tdk?
BalasHapusUntuk Guide lokal, Silahkan kontak ke Pak Suryana 0857 1681 8469 atau 0858 1494 1502 desa Citalahab
HapusMas kahfi bolehkah kiranya meminta izin menggunakan foto sebagai poster kegiatan penarikan minat dari organisasi pecinta alam?
BalasHapus