Hujan kian lebat, tanah yang
semula berupa tanah kering berubah seketika menjadi tanah yang begitu licin. Lumpur
serta akar-akar pohon tak memberi ampun kepada kami ketika hendak turun. Jalur yang
semula kering berubah drastis menjadi jalur turunnya air dari atas. Jas hujan
yang kami gunakan seolah tak mampu menahan derasnya hujan. Sepatu pun mulai
terasa tak nyaman dan kian berat terisi air. Langkah kian goyah di setiap jalur
terjal, sesekali saya dan Fahmy terpeleset dan terjatuh seolah tubuh ini telah pasrah
terhadap apa yang akan terjadi di depan. Hujan kian deras dan hutan pun
terlihat begitu suram siang itu.
***
Malam kian larut saya dan seorang
sahabat, Fahmy, berboncengan memacu motor menembus dinginnya udara malam,
langit begitu cerah malam itu, jalan pun terbilang cukup ramai menuju arah
Sukabumi. Mobil-mobil berukuran besar, tronton, serta bus pun menghiasi
perjalanan kami. udara berubah kian dingin ketika hendak memasuki desa
Cimelati, kontur jalan pun berubah menjadi terus menanjak dan lama kelamaan
semakin mengecil. Pundak, tangan dan kaki pun mulai terasa pegal, karena
menahan beratnya beban ransel yang kami bawa serta jalan yang cukup rusak.
Jam pun menunjukan pukul 2 malam,
tibalah kami di desa Cimelati setelah menempuh waktu 3 jam perjalanan dari
Depok. Saat itu kami hendak menumpang untuk bermalam di rumah warga sekitaran
kaki gunung Salak, namun tak satupun terlihat ada rumah yang bisa kami ketuk
untuk di singgahi. Kami pun kembali memacu motor untuk terus naik, hingga tiba
di sebuah gerbang villa yang begitu besar. Kang Dede, begitu pria berumur awal
30 puluhan itu biasa di sapa, beliau adalah petugas kemanan di villa tersebut,
beliau menawarkan kami untuk bermalam di pos jaganya. Jutaan bintang yang
mehiasi langit desa Cimelati perlahan sejenak membuat kami melupakan dinginnya
udara malam itu.
bintang yang begitu cerah di depan Pos Jaga |
foto dimabil sektar pukul 2 Pagi |
Azan pun berkumandang menghiasi
subuh yang amat cerah, suaranya perlahan membangunkan kami yang sudah terlelap
dalam tidur hampir 2 jam, sedikit enggan untuk segera bangun karena begitu
berat untuk membuka mata, tapi kami perlahan bagun untuk shalat dan merapikan
isi ransel-ransel yang begitu padat.
Sukabumi dari Desa Cimelati |
Matahari muncul perlahan dari
timur, sinarnya menghangatkan tubuh yang semalam di tempa dinginnya angin. Setelah
sarapan, Kang Dede berbaik hati untuk menawarkan untukmenitipkan motor kami di
rumah orang tuanya, abah Jaja, yang biasa jadi tempat singgah para pendaki. Saya
dan Fahmy pun perlahan jalan menuju jalur pendakian, dan perlahan memasuki
gelapnya hutan gunung Salak.
titik awal Pendakian |
Meski jalur pendakian Gunung
Salak via Cimelati masih belum resmi, namun jalur ini merupakan salah satu
jalur tercepat untuk menuju puncak Manik. Cuaca cukup cerah pagi ini, kami bertemu
satu rombongan, dan sekitar 1 rombongan lagi ada di belakang kami.
Jalur terus menanjak seolah tanpa
landai sedikitpun, akar-akar yang berseliweran pun terkadang membuat langkah
kami tersandung. Bersyukur itulah yang terlintas di pikiran saya, jika hujan
hampir mustahil untuk sampai di puncak Manik. Pos demi pos kami lewati
perlahan, 1 rombongan lain akhirnya memutuskan untuk mendirikan tenda di Pos 3,
1 rombongan lagi di Pos 2. Saya dan Fahmy terus melanjutkan perjalanan berdua,
setelah melewati Pos 3 kami tidak menemukan orang lain yang mendaki, hanya kami
berdua saja di tengah rimba yang gelap di Gunung Salak.
Puncak Salak 2 terlihat dari kejuhan, foto di ambil di pagi hari. |
Pukul menunjukan jam 2 siang,
tibalah kami di pos 4. Jalur dari pos 3 menuju pos 4 adalah jalur terberat
menurut saya pribadi, sejenak menikmati makan siang dan kembali melanjutkan
perjalanan. Langkah kami perlahan kian layu, paha terasa mulai berat untuk mengayunkan
kaki, ransel berukuran 75 liter dan 80 liter yang kami bawa perlahan terasa
begitu menyiksa, berat, padat dan keras layaknya memanggul batu.
Pos 4 di jalur Cimelati. |
2 jam 30 menit, setelah perlahan
berjalan hutan yang begitu gelap perlahan di masuki cahaya mentari, vegetasi
pun lambat laun berganti menjadi pohon yang lebih pendek, kian lama jalur kian
terang, tak lama terlihat sebuah bedeng dan makam mbah salak dari kejauhan,
yang menandakan tibanya kami di puncak Manik atau Puncak Gunung Salak. Jingga serta
merah jambu langit menyambut kedatangan kami sore itu, puncak Gunung Pangrango
terlihat dari kejuhan meski masih tersipu malu tertutup awan.
Puncak Pangrango, di sore hari. |
Jam tepat menunjukan pukul 16.30,
setelah menempuh perjalanan hampir 8 jam. Angin berhembus seolah menghapus
keringat yang bercucuran di tubuh, begitu segar udara, saya pun menghirup udara
dalam-dalam dan perlahan mengehmbuskannya seolah merasa puas telah kembali ke
tempat ini ketiga kalinya.
tenda kami, bermalam di bawah jutaan bintang. |
Panorama indah malam yang cerah. |
Tak ada tanda-tanda terjadinya
hujan malam itu, udara malam terasa sejuk dan tidak terlalu dingin. Awan perlahan
menghilang dan membuka tabir angkasa yang begitu indah dan luas. Perlahan bintang
bermunculan di atas langit malam. Rasa lelah hilang sudah melihat gugusan
bintang di angkasa, meski hanya ada beberapa tenda saja di puncaknya namun
bahagia tak terperi yang saya rasakan.
menimati hangatnya api unggun |
Galaksi Bimasakti terlihat di langit yang begitu cerah |
Kian malam, bintang kian
bermunculan dan semakin indah seolah membuat mata tak ingin berkedip
sedikitpun. Puncak Gunung Pangrango tersibak perlahan menunjukan indahnya dari
kejuhan, di hiasi indahnya bintan-bintang. Lampu-lampu desa di Sukabumi pun
terlihat dari kejauhan seolah tak ingin kalah menunjukkan keindahannya.
Gunung Gede Pangrango Di malam Hari. |
bersama pendaki lain. |
bintang yang membuat mata seakan tak ingin berkedip |
Indah, tenang, dan damai itulah
yang tergambar di benak saya, hanya di temani suara hewan dan serangga,
hangatnya api unggun pun tak kalah nikmatnya untuk dinikmati. Sang Pencipta
begitu bermurah hati menunjukkan kebesaran-Nya kepada kami. saya merasa begitu
kecil dan tak ada apa-apanya dibanding ciptan-Nya yang begitu Sempurna, rasa
gamang terus menghinggapi saya di hadapan bintang-bintang yang begitu indah
yang menyadarkan saya bahwa inilah Hidup. Tak ada yang perlu di banggakan
dengan ketinggian apapun bentuk ketinggian itu. Butiran debu pun tak mampu menggambarkan
diri kita jika dibandingkan dengan apa yang ada di alam semesta. Tetapi bukan berarti
butiran debu tak boleh berusaha dan bermimpi untuk mewujudkan semua impiannya.
Matahari Terbit setelah semalaman di suguhi bintang yang indah. |
Tersibak malu, Puncak Pangrango muncul perlahan dari balik awan. |
Semoga kelak kita bisa berpeluk mesra kembali
Gunung Salak, seperti masa yang indah ini.
***
Informasi Pendakian :
- Untuk menuju Cimelati dapat di tempuh menggunkan bus atau kendaraan pribadi, arah Sukabumi dan berhenti di petigaan Cicurug, dan belok kanan lurus mengikuti jalan hingga sampai di Desa Cimelati.
- Jika menggunakan Bus, untuk melanjutkan ke Desa Cimelati bisa menyewa angkot, karena dari pertigaan Cicurug jalannya cukup Jauh.
- Jika membawa Kendaraan pribadi, bisa di titipkan di sekitaran rumah warga atau di rumah Abah Jaja.
- Di Desa Cimelati agak sulit mencari Sarapan, di usahakan membawa sarapan sendiri.
- Di karenakan jalur pendakian belum resmi, harap dalam rombongan tim ada yang sudah mendaki lewat jalur ini, karena cabang cukup banyak di temui di jalurnya.
- Hujan hampir kerap kali turun, meski dalam musim panas. Persiapan perlatan yang matang adalah suatu keharusan.
- Harap menjaga kelestarian TNGHS, jangan membuang sampah dan mecorat-coret secara sembarangan, karena ini merupakan area Taman Nasional.
Estimasi Waktu Pendakian :
- Titik start – Pos 1 (1 jam)
- Pos 1 - Pos 2 (1 jam)
- Pos 2 - Pos 3 (30 menit)
- Pos 3 - Pos 4 (2 jam)
- Pos 4 - Pos 5 (1 jam 30 menit)
- Pos 5 - Pos 6 (1 jam)
- Pos 6 - Puncak (1 jam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar