Berburu foto Landscape di Gunung Papandayan




“Nanti hati-hati ya, bekas makanan jangan di taro di bawah, ada si Omen”, sontak ketiga orang teman saya sedikit kaget, “Omen..?”. Tak terasa 3 tahun berlalu semenjak kali terakhir saya mengunjungi gunung Papandayan, Omen masih menjadi penunggu sekaligus makhluk usil di pondok saladah, area berkemah gunung Papandayan. Omen merupakan babi hutan yang tinggal di seputaran area berkemah, sore hingga malam hari umumnya hewan ini mulai keluar dan berkeliling serta menyambangi beberapa tenda pengunjung.

Dalam kurun 3 tahun banyak perubahan drastis, dari infrastuktur maupun fasilitas. Ya, mungkin telah banyak beredar berita beberapa tahun terakhir area wisata Gunung Papandayan telah di kelola swasta. “sekarang lebih rapih & bersih ketimbang dulu”, ujar saya kepada tiga orang teman. Meski tiket masuk sedikit lebih mahal, Rp 55.000/orang (untuk berkemah 1 malam), namun saya tak sedikit pun menemukan sampah di sepanjang jalur pendakian. Asri, bersih, pemandangan yang indah, dan fasilitas toilet yang di sediakan membuat pendaki merasa begitu di nyaman.

***

Awan sedikit mendung, kabut merasup turun perlahan menelan sore yang cerah menjadi sedikit kelabu. Pukul menunjukan jam 16.30 sore, kami mulai pendakian. Saya sedkit pesimistis bahwa akan mendapatkan malam yang cerah, meski beberapa hari terakhir cerah. “mas kemarin-kemarin bagus ga cuacanya, bintangnya banyak ga?”, ujar saya kepada pendaki lain yang sedang turun, “kemaren mh cerah, langit malamnya bagus banget, milky waynya terlihat jelas”. Berbanding terbalik dengan sore ini, mendung berkabut, sedikit pasrah saya berusaha menikmati perjalanan ini, “ya, itung-itung liburan” ujar saya dalam hati.

Pukul 18.30, hari sudah gelap, tak ada tanda-tanda akan datangnya malam yang cerah sedikitpun. Udara dingin mulai menyeruak, menyambut kedatangan kami di pondok saladah malam itu. Tenda sudah berdiri walau ketiga orang teman sedikit kaget karena banyaknya warung di seputaran area berkemah. Walau terkesan tidak alami namun di sisi lain, hal ini memanjakan para pendaki yang tak mau repot-repot membawa makanan maupun alat masak.

Titik-titik cahaya mulai bermunculan di angkasa, kabut perlahan hilang, optimis mulai muncul di diri saya. Sedikit demi sedikit angkasa menjadi begitu cerah, bintang menyeruak seolah membentuk aliran sungai di langit angkasa, galaksi Bima Sakti atau sering di sebut milky way begitu indah malam itu, mata telanjang kami begitu di manjakan oleh ciptaan-Nya yang amat sempurna.

galaksi bima sakti di hutan mati

berpose di bawah gugusan bintang

Tak perlu berpikir panjang, saya dan seorang teman, Mas Ari, yang juga pehobi fotografi berjalan sambil menenteng tripod menuju hutan mati. 2 orang teman yang lain, Jilan dan Mas Adi, berjaga tenda di malam itu. Terakhir saya mengambil foto galaksi bima sakti tahun lalu, 2017, di puncak manik gunung Salak, kala itu bintang tak secerah dan sebanyak di gunung Papandayan.

panorama galaksi bima sakti

Tak terasa hampir 2 jam kami mengambil foto lanskap langit yang begitu indah, hati terasa amat puas dan bahagia tak terperi yang saya rasakan. Hawa dingin seolah tak terasa bagi kami. Rasa gamang perlahan menghantui pikiran saya di bawah langit angkasa dengan gugusan bintang yang amat indah serta sempurna. Kecil, amat kecil kita di hadapan ciptaan Tuhan, butiran debu pun tak mampu menggambarkan diri kita jika dibandingkan dengan apa yang ada di alam semesta. Di bawah langit malam ini  menyadarkan saya bahwa inilah Hidup!, ya, inilah hidup, tak ada yang perlu di banggakan dengan ketinggian apapun bentuk ketinggian itu. Namun tak berarti bahwa mahluk kecil ini tak boleh berusaha dan bermimpi untuk mewujudkan semua impiannya.

blue hour di hutan mati
matahari terbit

hutan mati di pagi hari

Malam berlalu dengan sangat cepat berganti pagi yang begitu cerah, hutan mati kembali menunjukan keindahannya. Batang-batang pohon yang terkena erupsi beberapa tahun silam seolah menjadi daya tarik yang kuat. Puas mengabadikan foto, kami berampat meneruskan perjalanan menuju Tegal Alun.

Perjalanan menuju Tegal Alun sedikit terjal dan cukup menguras tenaga, meski setelah itu padang edelweiss seluas sekitar 35 hektare menjadi sajian yang amat indah. Udara amat segar pagi itu, saya pun menghirup udara dalam-dalam dan perlahan mengehmbuskannya seolah merasa puas telah kembali ke tempat ini untuk kali kedua.

Edelweiss di Tegal Alun

sarang laba-laba di tengah Edelweiss

Semoga kelak kita bisa berpeluk mesra kembali Gunung Papandayan, seperti masa muda yang indah ini.

Informasi Pendakian :
  • Tiket masuk perorang Rp 55.000 (2 hari, 1 malam)
  • Biaya parkir Rp 30.000/mobil
  • Di harapkan membawa peralatan pendakian yang memadai, karena udara malam cukup dingin.
  • Estimasi waktu pendakian 2-4 jam, tergantung kondisi tiap orang dan alam.
  • waktu terbaik untuk memotret milky way pada tengah tahun (April-Agustus)


2 komentar: