Gunung Prau, Surga di dataran tinggi Dieng


Perlahan cahaya tembus di sela-sela jendela di kamar sederhana yang kami sewa untuk bermalam di desa Patak Banteng, udara dingin yang menusuk kulit perlahan di ganti dengan udara sejuk pagi. Enggan rasanya tubuh ini bergerak setelah 18 jam perjalanan dari Depok menuju Dieng, tikungan-tikungan tajam Kajen mewarnai perjalanan kami semalam, memacu adrenalin di tengah gelapnya hutan.


Meski begitu enggannya diri ini untuk beranjak dari hangatnya selimut, namun rasanya sayang jika melewatkan pagi yang cerah begitu saja. Tak perlu befikir panjang, Telaga Warna menjadi destinasi kami di pagi itu, sebelum melanjutkan perjalanan untuk mendaki Gunung Prau. Bentangan bukit-bukit nan elok serta lahan pertanian di sela-sela bukit menjadi pemandangan yang begitu indah, beralaskan danau yang yang terlihat kehijauan dari kejuhan menjadi sajian di pagi yang amat cerah.

pemandangan Telaga Warna dari Batu pandang
Matahari kian meninggi, tak terasa jam sudah menunjukan pukul 9 pagi, udara dingin perlahan berganti dengan hawa panas yang cukup menyengat kulit. Rasanya sudah tak sabar untuk ke prau, pikir saya. Mas Ari pun memacu mobil yang kami bawa untuk kembali ke home stay, bersiap dan memulai perjalanan ke Gunung Prau.

***

Nafas saya kian memburu ketika menuju pos 3, langkah kaki pun semakin layu, “rasanya dengkul mau copot”, gumam saya dalam hati. Sinar mentari amat menyengat siang itu, di tambah dengan jalur yang terus menanjak yang seolah tanpa ampun. Meski di golongkan sebagai Gunung dengan jalur pendakian yang tidak terlalu sulit dan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh, namun Gunung Prau tetap memiliki kesulitannya tersendiri.

Jam menunjukan pukul 3 sore, sudah 2 jam kami berjalan, perlahan tenda-tenda terlihat samar-samar dari kejauhan yang menandakan kami tiba di sunrise camp, tempat terbaik untuk mendirikan tenda dan menikmati terbitnya matahari, saya dan wahyu pun perlahan mendirikan tenda di sela-sela bukit di sunrise camp sambil menunggu Jilan dan mas Ari yang tertinggal di belakang.

Gunung Slamet dari padang lonte sore
Petang pun datang, tepat pukul setengah 5 sore, kami pun berjalan-jalan sekedar meikmati bentangan padang rumput nan luas yang biasa di sebut bukit telletubies. Padang lonte sore menjadi tujuan kami sore itu, sambil memburu indahnya matahari terbenam, perlahan gumpalan awan pun menyingkir perlahan, menyibak indahnya gunung tertinggi di Jawa Tengah, gunung Slamet, dari kejauhan.

Matahari kian tenggelam di ufuk barat meninggalkan jingganya nan indah di langit sore. Gumpalan awan yang amat indah terlihat begitu jelas di hadapan kami, seraya mengucapkan syukur dalam hati bahwa sang Pencipta begitu bermurah hati memberi kami sore yang amat indah saya perlahan mengabadikan beberapa foto. Puas mengabadikan beberapa foto, kami kembali ke tenda kami untuk mempersiapkan kudapan di malam hari.

pemandangan malam dari sunrise camp
Jingganya langit berganti menjadi gelapnya malam, kelap-kelip bintang pun perlahan bermunculan di langit malam yang cukup cerah meski di iringi tiupan angin yang cukup kencang. Seolah tak ingin kehilangan momen, saya pun bergegas mengeluarkan tripod dan menyiapkan kamera untuk sekadar mengabadikan momen di malam yang cukup cerah.

merbabu, merapi, sindoro dan sumbing
Megahnya gunung Sindoro dan Sumbing, serta tak ketinggalan Gunung Merbabu dan Merapi menunjukkan keindahannya dari kejuhan, udara yang amat dingin malam itu seolah tak terasa karena begitu takjubnya saya melihat kemegahan sang Pencipta.

Sedikit penasaran, saya kembali mendai bukit seorang diri untuk kembali ke padang lonte sore, hanya untuk melihat apakah sang Puncak Tertinggi di Jawa Tengah terlihat di malam hari. 10 menit berjalan, sang puncak terlihat megah diantara gumpalan awan, beralaskan indahnya lampu-lampu desa Dieng, di tambah terangnya sang rembulan yang cahaya cukup terang. Ucapan syukurpun terlontar dari dalam hati saya, sambil menikmati semilir angin dan suara dedaunan dan rerumputan yang tertiup angin.

dieng di malam hari berlatarkan megahnya gunung slamet, foto diambil di padang lonte sore
Udara malam yang amat dingin membuat tidur kami sedikit tidak nyenyak, beberapa kali saya terbangun karena telapak kaki begitu terasa membeku meski 2 kaos kaki sudah melapisi kedua kaki saya. Udara pun kian dingin menjelang subuh, tak sabar rasanya menunggu sang fajar terbit.

Cemas menyelimuti pikiran saya, kahwatir bahwa pagi tidak akan cerah dan berkabut, namun sang Pencipta sekali lagi bermurah hari kepada kami, fajar pun perlahan menyorotkan sinarnya dari ufuk timur, perlahan area bukit-bukit mulai menampakkan keindahannya. Gunung sindoro dan sumbing pun tak ketinggalan menunjukkan keindahannya dari kejuhan.

terbitnya sang mentari
cuaca pagi yang amat cerah
Tak perlu pikir panjang, kami berempat pun berkeliling, meikmati udara nan sejuk, hembusan angin dan pemandangan yang begitu membelalak mata. Tak henti-hentinya hati ini di buat takjub oleh keindahannya, terlebih ketika kami turun ke area jalur wates, Sindoro dan Sumbing sangat terlihat jelas. Begitu sunyi dan indah, seolah diri di buai oleh keindahan ciptaan-Nya yang amat sempurna.

menuju jalur wates
sindoro dan sumbing terlihat jelas dari kejauhan
spot foto di camp area wates
Matahari kian meninggi ketika jam menunjukkan pukul 10 pagi, setelah puas menikmati suguhan sang Pencipta, kami pun kembali ke tenda kami di sunrise camp. Memasak serta mempersiapkan diri untuk kembali turun melalui jalur Patak Banteng. Jalur turun sedikit begitu menyiksa kaki, terjal dan sedikit licin. Tak terasa 1 jam berlalu, dan tibalah kami di titik awal pendakian, base camp, yang menandakan berakhirnya petualangan kami. riuh suara para pendaki pun mulai terdengar jelas, senyum pun tak bisa saya bendung lagi, bersyukur karena dapat menikmati hidup yang amat singkat ini.

“God created wonderful places that we know and know that He is the Creator. Do not hesitate !, explore every beautiful place it is, undoubtedly you will get peace of mind” - unknow

Itinerary, biaya dan informasi :
  • dapat di tempuh menggunakan Bus Sinar Jaya dari terminal Lebak Bulus dengan Tarif Rp 80.000/orang menuju Wonosobo
  • setibanya di terminal Mendolo, Wonosobo, perjalanan di lanjutkan dengan mobil elf, yang biasa menawarkan jasa transportasi menuju desa Patak Banteng dengan tarif Rp 25.000/orang
  • home stay tempat kami menginap (home stay sahabat) di desa Patak Banteng bertarif Rp 200.000/kamar. 1 kamar bisa di gunakan 4-6 orang.
  • Tarif Simaksi gunung Prau sebesar Rp 10.000/orang
  • Terdapat 3 pos di jalur Patak Banteng, masing-masing pos berjarak tidak terlalu jauh
  • Di harapkan membawa peralatan pendakian yang memadai, karena cuaca amat dingin pada malam hari, dan panas yang amat menyengat di siang hari.
sunrise camp



Tidak ada komentar:

Posting Komentar